SELAMAT DATANG

WELCOM TO MY BLOG

Friday, 15 April 2011

Top 10 Ringkasan Novel

AZAB DAN SENGSARA
Pengarang : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok amat segan dan hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin. Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam keadaan demikian.
Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan, mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga. Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke Medan.
Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah. Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia.
Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya. Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.
Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin. Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.
Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas. Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu, yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.
Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.
Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata, ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya. Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada Mariamin.
Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya. Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu.
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya, penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya. Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan Kasibun menyiksanya dengan kejam.
Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.
Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.
Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaay yang silih berganti menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad yang kasar itu.”




Siti Nurbaya
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Sutan Mahmud Syah termasuk salah seorang bangsawan yang cukup terkenal di Padang. Penghulu yang sangat disegani dan dihormati penduduk disekitarnya itu, mempunyai putra bernama Samsulbahri, anak tunggal yang berbudi dan berprilaku baik. Bersebelahan dengan rumah Sutan Mahmud Syah, tinggal seorang Saudagar kaya bernama Baginda Sulaiman. Putrinya, Sitti Nurbaya, juga merupakan anak tunggal keluarga kaya-raya itu.
Sebagaimana umumnya kehidupan bertetangga, hubungan antara keluarga Sutan Mahmud Syah dan keluarga Baginda Sulaiman, berjalan dengan baik. Begitu pula hubungan Samsulbahri dan Sitti Nurbaya. Sejak anak-anak sampai usia mereka menginjak remaja, persahabatan mereka makin erat. Apalagi, keduanya belajar di sekolah yang sama. Hubungan kedua remaja itu berkembang menjadi hubungan cinta. Perasaan tersebut baru mereka sadari ketika Samsulbahri akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya.
Sementara itu, Datuk Meringgih, salah seorang saudagar kaya di Padang, berusaha untuk menjatuhkan kedudukan Baginda Sulaiman. Ia menganggap Baginda Sulaiman sebagai saingannya yang harus disingkirkan, di samping rasa iri hatinya melihat harta kekayaan ayah Sitti Nurbaya itu. “Aku sesungguhnya tidak senang melihat perniagan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku. Oleh sebab itu, hendaklah ia dijatuhkan,” demikian Datuk Meringgih berkata (hlm. 92). Ia kemudian menyuruh anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan bangunan, took-toko, dan semua harta kekayaan Baginda Sulaiman.
Akal busuk Datuk Meringgih berhasil. Baginda Sulaiman kini jatuh miskin. Namun, sejauh itu, ia belum menyadari bahwa sesungguhnya, kejatuhannya akibat perbuatan licik Datuk Meringgih. Oleh karena itu, tanpa prasangka apa-apa, ia meminjam uang kepada orang yang sebenarnya akan mencelakakan Baginda Sulaiman.
Bagi Datuk Meringgih kedatangan Baginda Sulaiman itu ibarat “Pucuk dicinta ulam tiba”, karena memang hal itulah yang diharapkannya. Rentenir kikir yang tamak dan licik itu, kemudian meminjamkan uang kepada Baginda Sulaiman dengan syarat harus dapat dilunasi dalam waktu tiga bulan. Pada saat yang telah ditetapkan, Datuk Meringgih pun dating menagih janji.
Malang bagi Baginda Sulaiman. Ia tak dapat melunasi utangnya. Tentu saja Datuk Meringgih tidak mau rugi. Tanpa belas kasihan, ia akan mengancam akan memenjarakan Baginda Sulaiman jika utangnya tidak segera dilunasi, kecuali apabila Sitti Nurbaya diserahkan untuk dijadikan istri mudanya.
Baginda Sulaiman tentu saja tidak mau putrid tunggalnya menjadi korban lelaki hidung belang itu walaupun sbenarnya ia tak dapat berbuat apa-apa. Maka, ketika ia sadar bahwa dirinya tak sanggup untuk membayar utangnya, ia pasrah saja digiring polisi dan siap menjalsni hukuman. Pada saat itulah, Sitti Nurbaya keluar dari kamarnya dan menyatakan bersedia menjadi istri Datuk Meringgih asalkan ayahnya tidak dipenjarakan. Suatu putusan yang kelak akan menceburkan Sitti Nurbaya pada penderitaan yang berkepanjangan.
Samsulbahri, mendengar peristiwa yang menimpa diri kekasihnya itu lewat surat Sitti Nurbaya, juga ikut prihatin. Cintanya kepada Sitti Nurbaya tidak mudah begitu saja ia lupakan. Oleh karena itu, ketika liburan, ia pulang ke Padang, dan menyempatkan diri menengok Baginda Sulaiman yang sedang sakit. Kebetulan pula, Sitti Nurbaya pada saat yang sama sedang menjenguk ayahnya. Tanpa sengaja, keduanya pun bertemu lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing.
Ketika mereka sedang asyik mengobrol, datanglah Datuk Meringgih. Sifat Meringgih yang culas dan selalu berprasangka itu, tentu saja menyangka kedua orang itu telah melakukan perbuatan yang tidak pantas. Samsulbahri yang tidak merasa tidak melakukan hal yang tidak patut, berusaha membela diri dari tuduhan keji itu. Pertengkaran pun tak dapat dihindarkan.
Pada saat pertengkaran terjadi, ayah Sitti Nurbaya berusaha datang ke tempat kejadian. Namun, karena kondisinya yang kurang sehat, ia jatuh dari tangga hingga menemui ajalnya.
Ternyata ekor perkelahian itu tak hanya sampai di situ. Ayah Samsulbahri yang merasa maluatas tuduhan yang ditimpakan kepada anaknya, kemudian mengusir Samsulbahri. Pemuda itu terpaksa kembali ke Jakarta. Sementara Sitti Nurbaya, sejak ayahnya meninggal merasa dirinya telah bebas dan tidak perlu lagi tunduk dan patuh kepada Datuk Meringgih. Sejak saat itu ia tinggal menumpang bersama salah seorang familinya yang bernama Aminah.
Sekali waktu, Sitti Nurbaya bermaksud menyusul kekasihnya ke Jakarta. Namun, akibat tipu muslihat dan akal licik Datuk Meringgih yang menuduhnya telah mencuri harta perhiasan bekas suaminya itu, Sitti Nurbaya terpaksa kembali ke Padang. Oleh karena Sitti Nurbaya tidak bersalah, akhirnya ia bebas dari tuduhan. Namun, Datuk Meringgih masih juga belum puas. Ia kemudian menyuruh seseorang untuk meracun Sitti Nurbaya. Kali ini, perbuatannya berhasil. Sitti Nurbaya meninggal karena keracunan.
Rupanya, berita kematian Sitti Nurbaya membuat sedih ibu Samsulbahri. Ia kemudian jatuh sakit, dan tidak berapa lama kemudian meninggal dunia.
Berita kematian Sitti Nurbaya dan ibu Samsulbahri, sampai juga ke Jakarta. Samsulbahri yang merasa amat berduka, mula-mula mencoba bunuh diri. Beruntung, temannya, Arifin, dapat menggagalkan tindakan nekat Samsulbahri. Namun, lain lagi berita yang sampai ke Padang. Di kota ini, Samsulbahri dikabarkan telah meninggal dunia.
Sepuluh tahun berlalu. Samsulbahri kini telah menjadi serdadu kompeni dengan pangkat letnan. Ia juga sekarang lebih dikenal dengan nama Letnan Mas. Sebenarnya, ia menjadi serdadu kompeni bukan karena ia ingin mengabdi kepada kompeni, melainkan terdorong oleh rasa frustasinya mendengar orang-orang yang dicintainya telah meninggal. Oleh karena itu, ia sempat bimbang juga ketika mendapat tugas harus memimpin pasukannya memadamkan pemberontakan yang terjadi di Padang. Bagaimanapun, ia tak dapat begitu saja melupakan tanah leluhurnya itu. Ternyata pemberontakan yang terjadi di Padang itu didalangi oleh Datuk Meringgih.
Dalam pertempuran me;awan pemberontak itu, Letnan Mas mendapat perlawanan cukup sengit. Namun, akhirnya ia berhasil menumpasnya, termasuk juga menembak Datuk Meringgih, hingga dalang pemberontak itu tewas. Namun, Letnan Mas luka parah terkena sabetan pedang Datuk Meringgih.
Rupanya, kepala Letnan Mas yang terluka itu, cukup parah. Ia terpaksa dirawat dirumah sakit. Pada saat itulah timbul keinginan Letnan Mas untuk berjumpa dengan ayahnya. Ternyata, pertemuan yang mengharukan antara “Si anak yang hilang” dan ayahnya itu merupakan pertemuan terakhir sekaligus akhir hayat kedua orang itu. Oleh karena setelah Letnan Mas menyatakan bahwa ia Samsulbahri, ia mengembuskan napas di depan ayahnya sendiri. Adapun Sutan Mahmud Syah, begitu tahu bahwa Samsulbahri yang dikiranya telah meninggal beberapa tahun lamanya tiba-tiba kini tergolek kaku menjadi mayat akhirnya pun meninggal dunia pada keesokan harinya.
















BELENGGU

Pengarang : Armijin

Penerbit : Dian Rakyat

Dokter Sukartono (Tono) adalah seorang dokter yang bijaksana. la tak pernah meminta bayaran apabila mengetahui pasiennya adalah orang tidak mampu hingga ia dikenal sebagai dnkter yang dermawan. Selain itu, ia mempunyai sifat ramah : terhadap siapa saja yang dikenalnya.

Namun, karena kesibukannya sebagai dokter, Tono hampir tak mempunyai waktu untuk memberi perhatian kepada Tini (Sumartini), istrinya. Tini yang merasa tidak mendapat perhatian dari suaminya, mencari kesibukan di luar rumah. Akibat kesibukan mereka, Tono dan Tini jarang mempunyai waktu bersama- sama. Hal ini menimbulkan akibat lain, mereka tidak dapat mengkomunikasikan pikiran masing-masing. Masalah-masalah yang timbul sering hanya dipikirkan sendiri-sendiri sehingga timbul kesalahpahaman yang sering menimbulkan pertengkaran yang mewarnai rumah tangga mereka.

Pandangan Tono dan Tini juga berbeda dalam hubungan suami-istri. Tono berpendapat, tugas seorang wanita adalah mengurus anak, suami, dan segala hal yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebaliknya, Tini menginginkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Bahkan, ia menganggap pria sebagai saingan, sekalipun terhadap suaminya. Akibat pandangannya itu, Tini melupakan tugasnya sebagai seorang istri.

Sebenarnya, penyebab utama ketidak harmonisan hubungan suami-istri itu terletak pada tidak adanya rasa saling mencintai di antara mereka. Tono memperistri Tini karena kecantikan, kecerdasan, dan keceriaan wanita itu yang dianggap pantas menjadi pendamping seorang dokter seperti dirinya. Bahkan, Tono tidak mempedulikan keadaan Tini yang tidak perawan lagi ketika menikah. Di lain pihak, Tini bersedia menjadi istri Tono karena ia ingin melupakan masa lalunya yang kurang baik. Ia berharap, dengan menjadi istri yang baik, masa lalunya yang dianggap aib dapat terhapus. Akan tetapi, aib itu selalu membayangi kehidupannya hingga menimbulkan rasa rendah diri dalam diri Tini.

Kekacauan rumah tangga Tono dan Tini diperburuk dengan hadirnya orang ketiga, yang memperkenalkan diri sebagai Nyonya Eni. Nyonya Eni sebenarnya bernama Yah (Siti Rohayah alias Siti Hayati). la seorang penyanyi keroncong dan juga seorang wanita panggilan. Dahulu, Yah adalah tetangga dan teman sekolah Tono. Diam-diam, ia mencintai Tono dan mendambakannya menjadi suaminya. Namun, kemudian, ia menjadi korban kawin paksa dan akhirnya ia melarikan diri hingga terjerumus dalam lembah kenistaan.

Ketika Yah mengetahui alamat Tono, ia berpura-pura sakit dan memanggil dokter itu. Berkat pengalamannya bertemu dan bergaul dengan banyak laki-laki, Yah dapat memikat Tono dalam pelukannya. la mengetahui kelemahan Tini yang membutakan pikiran dan perasaan terhadap keinginan laki-laki. Kemudian Yah melimpahkan kasih sayangnya. Bagi Tono, curahan kasih sayang Yah itu tak ia rasakan dari istrinya sendiri.

Kehadiran Yah bagi dokter itu, justru seolah-olah menemukan kembali kehangatan cinta yang selama ini ia dambakan. Yah menjadi curahan perasaan dan keluh-kesahnya. la mulai merasakan, sebuah cinta mulai bersemi di hatinya. Akhirnya, tempat tinggal perempuan itu menjadi rumah kedua Tono.

Lambat-laun, hubungan gelap mereka diketahui juga oleh Tii. Lalu, tanpa sepengetahuan suaminya, ia mendatangi wanita yang telah merebut suaminya. Ia penasaran, macam apakah sosok perempuan itu. "Tini mulai tertarik hatinya. Patut Tono tertarik. Tidak benar ia penyanyi keroncong, tingkah lakunya tertib. Sambil merasa heran demikian diikutinya Yah naik tangga, diturutnya ajakan Yah supaya duduk" (him. 142).

Menghadapi perilaku dan sikap Yah yang begitu santun dan tertib itu, Tini merasa malu sendiri. Perasaan marah dan cemburu yang dibawanya dari rumah, luluh sudah, dan berbalik mengagumi perempuan itu. Ia menyadari kelebihan Yah. la juga menyadari kekurangannya selama ini, telah menyia-nyiakan Tono, suaminya. Dengan ikhlas Tini menyatakan kerelaannya menerima kenyataan itu rela Yah merebut suaminya.

Apa yang ia ketahui tentang Yah dan kenyataan yang ia hadapi dalam hubungan suami-istri, Tini kemudian membicarakan persoalan itu dengan suaminya. Betapa terkejut Tono melihat sikap istrinya yang demikian. la berusaha untuk menahan istrinya agar tetap mau bersamanya. Namun, sikap Tini tetap tak berubah. Perpisahan suami-istri itu rupanya tak terelakkan lagi. Sungguhpun berat bagi Tono untuk bercerai dari istrinya, ia sendiri tak dapat memaksakan kehendaknya. la terpaksa merelakan kepergian istrinya walaupun Tono masih tetap berharap agar hubungan mereka baik kembali. Kapan pun Tono akan tetap bersedia menerima Tini kembali.

Sekepergian sang istri, Tono bermaksud mengunjungi Yah di rumahnya. Namun, betapa terkejutnya Tono, wanita yang selalu menjadi curahan hatinya itu, kini tak ada lagi. Yah pergi ke New Caledonia. Pergi meninggalkan cinta sang dokter yang selalu mendambakan kehangatan hidup berumah tangga.

Di sana, di sebuah kapal yang membawanya ke negeri baru, Yah tercenung sendiri. "Rohayah berbalik ... di sana gelap juga, tapi semangatnya tahu, di sanalah, lautan lepas, di sana dunia Iain, memang dunia baru, tapi sunyi ... Tono tidak ada di sana, di New CaIedonia ..." (him. 162).
Tono kini sendiri. Yah telah pergi ke dunia yang baru. Tini juga pergi ke
Surabaya mengabdikan dirinya menjadi pengurus panti yatim piatu di kota itu.
Sungguhpun kini Tono sendiri, ia tidak hanyut dalam kesedihan yang berlarut-larut. la menekuni bidangnya; mengabdikan diri dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.






AKI
Pengarang : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka

Penyakit TBC yang diidap Aki menyebabkannya seperti orang yang sudah tua. Dalam usia yang baru berumur 29 tahun, lelaki kurus kering ini tampak seperti berumur 42 tahun. Biasanya, keadaan orang seperti itu disebabkan masa mudanya yang habis dengan main perempuan jahat. Selain itu, bentuk tubuhnya yang bongkok membuat Aki menjadi bahan tertawaan yang mengasyikkan. Akan tetapi, ternyata hal itu tak dilakukan teman-temannya di kantor. Bahkan, mereka sangat hormat kepada orang yang di mata mereka adalah orang yang berhati lurus dan bertingkah wajar.
Penyakit TBC yang diderita Aki itu suatu ketika mencapai titik kritis. Puncaknya adalah ketidak bernafasan Aki untuk beberapa saat. Sebagai istri setia, Sulasmi terkejut melihat kenyataan yang menimpa suaminya. la kalap. Akan tetapi, tak lama kemudian suaminya siuman, bahkan sebuah senyum tersungging di bibirnya. Di antara senyuman itu, Aki mengatakan dengan pasti bahwa ia akan mati pada tanggal 16 Agustus tahun depan. la berharap Sulasmi mau menyediakan segala perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi hari kematiannya itu.
Rekan-rekan Aki di kantor menganggap lelaki itu sudah gila. Tidak terkecuali anggapan kepala kantornya. la yang sudah merencanakan kenaikan pangkat dan gaji Aki, tidak percaya kepada omongan pegawai kesayangannya itu. Diselidikinya tingkah laku lelaki itu, tetapi Aki memang tidak gila. "Di sini didapatinya Aki sedang bercakap-cakap dengan seorang bawahannya tentang pekerjaan. Sep itu seketika lamanya memperhatikan cakap Aki, tapi satu kata pun tiada menandakan bahwa Aki telah gila. la pergi ke meja Aki, diperhatikannya pekerjaan Aki yang sedang terbentang di atas meja. Pekerjaan itu tiada cacatnya" (him. 17).
Hari kematian yang dikatakan Aki telah tiba. Semua orang bersiap-siap. Akbar dan Lastri, anak-anak Aki, meminta izin tidak bersekolah. Pegawai- pegawai kantor menghiasi mobil kantor dengan bunga-bungaan. Kepala kantor berlatih menghapalkan pidato yang kelak akan dibacakan di kubur Aki. Lelaki itu sendiri memakai pakaian terbagus yang dimilikinya untuk menyambut Malaikatul maut yang akan menjumpainya pukul tiga sore nanti.
Ketika pukul tiga telah lewat, Sulasmi memberanikan diri untuk melihat suaminya. Dilihatnya mata suaminya yang tertutup rapat. Lalu, dipanggilnya nama Aki berulang-ulang, tetapi tak ada jawaban. Dengan diiringi tangis, Sulasmi berlari ke luar kamar untuk menemui orang-orang yang menungguinya. Tahulah para penunggu itu bahwa Aki telah meninggal. Saling berebut mereka masuk ke kamar Aki. Akan tetapi, mereka terkejut dan berlarian dari kamar ketika melihat Aki sedang merokok. "Tiada seorang pun yang berani mengatakan, apa yang dilihat mereka dalam kamar itu. Mereka puntang-panting lari meninggalkan rumah Aki. Dan yang belum masuk kamar, karena keinginan hendak tahu yang amat besar, menjulurkan kepalanya juga, tapi segera pun mereka lari puntang- panting keluar. Sehingga akhirnya semua pegawai itupun meninggalkan rumah Aki secepat datangnya" (him. 36).
Sulasmi bersyukur bahwa Aki tidak mati. Ternyata, Aki hanya tertidur dan tebangun karena keributan pegawai-pegawai teman sekantornya. Entah mengapa, sejak peristiwa itu Aki selalu terlihat sehat. la tampak lebih muda dari usia yang 42 tahun. Lalu, sebagai pengganti kepala kantor yang telah meninggal tiga tahun yang lalu, ia terlihat atraktif. Bahkan, Aki kembali bersekolah di fakultas lukum, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa yang usianya jauh di bawah Aki. Tentang hidup? Lelaki yang telah sembuh dari TBC ini ingin hidup lebih lama lagi. la mgin hidup seratus tahun lagi. Separuh hidupnya akan diabdikan sebagai pegawai dan separuh hidupnya lagi akan dipergunakan sebagai akademikus.




















PADA SEBUAH KAPAL

Pengarang : Nh. Dini (29 Februari 1936)
Penerbit : Gramedia Tahun : 1973 ; Cetakan IV, 1985

Pada umur tiga belas tahun, Sri ditinggal wafat ayahnya. Meskipun ayahnya
bukan seorang pelukis terkenal, Sri sangat mengagumi orang tuanya. la merasa kehilangan orang yang dianggapnya luar biasa itu. Ibunya kemudian menghidupi anak-anaknya dengan membatik dan berjualan kue. Wanita itu mendidik anak-anaknya dengan keras dan kuno meskipun berhati baik.
Selepas SMA, Sri bekerja sebagai penyiar RRI di kota tempat tinggalnya, Semarang. Kesibukannya sebagai penyiar mengakibatkan Sri mengurangi kegiatan menari. Tiga tahun bekerja menimbulkan rasa bosan dalam dirinya. Ketika ia melihat kesempatan menjadi pramugari udara, ia melamar. Setelah lulus dalam ujian seleksi di kotanya, ia dipanggil ke Jakarta untuk ujian selanjutnya. Hasil tes di Jakarta membuatnya kecewa, ia tak lulus dalam tes itu. Noda di paru- parunya menyebabkan ia tak diterima. la diminta datang ke Jakarta untuk mendapat penjelasan. Empat bulan kemudian Sri datang ke Jakarta untuk menerima penjelasan dari jawatan yang menangani tes itu. Di jawatan itu ia mendapat pekerjaan lain, yakni bekerja sebagai wartawan dalam majalah yang diterbitkan perusahaan itu. Akan tefapi, ia menolak kesempatan itu dan memilih menjadi penyiar di RRI Jakarta. .
Tujuh bulan setelah Sri tinggal di Jakarta, ibunya meninggal dunia. Sri pulang ke Semarang. Beberapa hari kemudian ia kembali ke Jakarta meneruskan pekerjaan dan kegiatan menarinya. Kepandaiannya menari membawa Sri menari di istana pada hari-hari bersejarah dan penyambutan tamu-tamu negara.
Di antara pemuda yang mengelilinginya dan mengharapkan cintanya, Sri memilih seorang perwira penerbang bernama Saputro. Dia dan Saputro merencanakan akan menikah. Secara lahir dan batin, keduanya telah menjalani kehidupan sebagai suami-istri meskipun belum resmi. Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Sri harus menghadapi peristiwa pahit: Saputro gugur, jatuh bersama pesawat yang ditumpanginya. Sri hancur hatinya. la istirahat ke Yogya. Carl, seorang petugas yayasan yang membantu mahasiswa-mahasiswa di negeri- negeri berkembang, mendekati Sri. Namun, ia menolak cinta Carl seperti ia menolak cinta Yus, seorang pelukis.
Akhirnya, Sri memutuskan menerima lamaran Charles Vincent, seorang diplomat di kedutaan Perancis. la tidak mempedulikan reaksi keluarganya yang tak menyetujui perkawinan itu. Mulanya, Sri tertarik kepada pria itu karena budinya halus dan mengerti perasaannya, tetapi beberapa waktu kemudian barulah tampak sifat asli Vincent. Pria itu keras terhadap Sri dan merasa tak mau disaingi oleh ketenaran istrinya sebagai penari. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka, bahkan kelahiran anak pertama, ternyata tak mengurangi percekcokan.
Ketika keluarga Vincent mendapat cuti ke Perancis, Charles memutuskan perjalanan terpisah dengan istrinya. Sri diminta naik kapal laut, sedangkan ia sendiri melakukan perjalanan dengan pesawat.
Sri menemukan kembali eksistensi dan kebebasannya di kapal yang membawanya ke Perancis. Di kapal ini, ia bertemu dengan Michel, pelaut yang menaruh hati padanya. Akhirnya, terjadilah hubungan intim—bahkan terlalu intim —selama perjalanan itu.
Sebelum bertugas di kapal, Michel pernah menjadi tentara. Ia ikut berjuang membela dan merebut negerinya, Perancis, dari tangan jajahan Jerman. Setelah kembali ke Perancis, Michel Dubanton, menikah dengan Nicole. Perkawinan yang diresrui keluarganya ini, ternyata tidak membahagiakan Michel meskipun sudah dikaruniai dua orang anak. Nicole mempunyai sifat cemburu yang berlebihan terhadap suaminya, apalagi suaminya tampan dan lebih muda daripada dirinya.
Dalam perjalanan kali ini, Michel jatuh hati pada seorang nyonya muda yang dikenalnya sebagai nyonya Vincent, yang tak lain adalah Sri. la merasa bahagia ketika nyonya muda itu memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Michel menemukan kelembutan dan kasih sayang pada diri Sri. Sebaliknya, Sri menemukan kasih sayang dan pengertian dari Michel. Hubungan intim kedua insan yang kesepian itu tetap berlanjut setelah mereka tiba di Perancis. Michel sering menulis surat kepada Sri ketika dalam pelayaran, dan Sri sering menunggu Michel dalam kerinduan ketika pria pujaannya sedang berlayar.
Sri makin merasakan perbedaan antara Michel dan suaminya, Charles, ketika ia berkumpul kernbali dengan keluarganya. Dari pergaulannya dengan adik Charles, Sri mengetahui tabiat suaminya yang mau menang sendiri—sekalipun terhadap istrinya— "Kehidupanku selama hampir empat tahun dengan Charles cuma berisi duri-duri yanr mengilukan. Aku bahkan kadang-kadang berpikir siapakah sebenarnya yang kukawim itu. ...Aku selalu takut mendapat teguran.
...Dan ketika itulah aku melihat Michel, ketika aku merasakan sentuhannya, tetap lembut dalam gelagak nafsunya, aku mencintainya" (hlm. 179), kata Sri tentang dua lelaki itu.
Kemudian Sri dan suaminya kembali ke Jepang. Hubungan rumah tangga mereka masih diliputi ketegangan. Permintaan Sri untuk bercerai, tak ditanggapi oleh suaminya. Itulah yang sering membuat Sri merasa tersiksa. Dalam saat-saat yang demikian itu, Michel merupakan sosok lelaki yang mampu memberikan kesejukan. la menemukan kebahagiaan pada diri lelaki pelaut itu. "Michel yang mengerti kesanggupanku untuk menjelajah keragaman dunia cinta yang tak terputuskan" (hlm. 217).
Ketika masa tugas Charles Vincent habis, ia berniat memboyong istri dan anak-anaknya dari Jepang ke Perancis. Kabar itu didengar oleh Michel dari seorang kawannya dalam perjalanan. Michel kemudian membatalkan niatnya untuk bekerja di darat di Yokohama, setelah mendengar kabar itu. la mengajukan permohonan untuk tetap bekerja sebagai pelaut dan meminta berlayar tidak terlalu jauh dari Paris. "Kerja darat di Yokohama kubatalkan. Dan sesudah masa liburku habis perjalanan pendek ini nanti ingin mendapatkan pelayaran-pelayaran yang singkat dan selalu dekat dengan Perancis," (hlm. 349) katanya. Itulah rencana yang telah diputuskan Michel. la mengambil keputusan itu, agar ia dapat terus berdekatan dengan Sri.












KEMELUT HIDUP
Pengarang : Ramdan K.H
Penerbit : Pustaka Jaya Tahun
: 1977

Abdurrahman adalah seorang kepala kantor pada instansi perburuhan.
Jabatan itu seharusnya membuat Abdurrahman bisa hidup enak, tidak terlalu dipusingkan oleh masalah ekonomi, yang biasanya menjadi masalah pokok bagi orang yang lebih rendah jabatannya daripada dia; tetapi kenyataannya lain. Perekonomian keluarga Abdurrahman morat-marit. Hanya untuk memenuhi
kebutuhan makan dan minum sehari-hari saja, keluarga itu harus mengutang ke sana kemari. Hal itulah yang menyebabkan Susana, putri Abdurrahman, mengambil jalan pintas. Susana tak tahan dengan kehidupan seperti itu. la ingin seperti tetangga-tetangganya, punya uang, punya mobil, dan bisa main ke mana ia suka. Jalan yang paling cepat untuk mendapatkan semua itu hanya dengan cara memanfaatkan tubuh dan kecantikannya. Keadaan itulah yang menjadi pangkal sengketa antara Abdurrahman dan Ina, istrinya. Ketidak harmonisan senantiasa mewarnai kehidupan mereka.
Saat yang ditakutkan Abdurrahman datang juga. la harus melepaskan jabatannya sebagai kepala kantor. la pensiun. Itu berarti penghasilannya sebagai pensiunan akan sangat tak berarti. la harus mencari pekerjaan baru yang tidak mungkin didapatkannya di kotanya. la harus mencari pekerjaan di Jakarta, walaupun terpaksa harus meninggalkan anak dan istrinya di Bandung. Dengan mengandalkan sarjana ekonominya—yang baru saja diraihnya—, ia berkeyakinan akan cepat mendapat pekerjaan.
Rupanya Tuhan sedang menguji Abdurrahman. Kemelut demi kemelut senantiasa menimpa diri dan keluarganya. Setelah menjalani pensiun, lelaki itu didera masalah lain. Mariun, pamannya, mengambil alih semua warisan yang bukan haknya. Abdurrahman yang juga merupakan ahli waris tidak puas dengan perlakuan yang tidak adil dari adik ibunya itu. la berusaha menggugat lewat jalur hukum. Belum beres masalah yang satu, ia harus menerima kenyataan lain; Aminah, putrinya yang ketiga, dipulangkan dari tugas belajarnya di Negeri Belanda. Selain tidak biasa dengan kehidupan di Belanda, rupanya Aminah hamil akibat perbuatan dengan pacarnya sebelum ia pergi ke Belanda.
Kenyataan itu dihadapi oleh Abdurrahman dengan tabah. Niatnya semula untuk mencari pekerjaan tetap dilakukannya. Secara kebetulan, Asikin—adiknya lain ibu— pulang dari Jepang dan menawarkan pekerjaan kepada Abdurrahman untuk mengawasi pembangunan rumah Asikin di Kebayoran Baru. Tentu saja ia tak menolak pekerjaan itu, walaupun menurut pandangan orang-orang ia diperlakukan oleh adik tirinya sebagai bawahan.
Hari demi hari berlalu dengan meninggalkan kepahitan. Abdurrahman jadi seperti terbiasa menghadapi kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Ia tetap tabah. Juga seperti ketika ia dipanggil Tini—ibu tirinya—yang memberitahukan bahwa Ina telah serong dengan Sukanda—suami Tini. Tini sendiri sangat kecewa dan tidak menyangka kalau kejadian tersebut menimpa dirinya. Keputusan Tini adalah mutlak: ia menceraikan suaminya. Hal seperti itu sulit bagi Abdurrahman, ia tak bisa mengambil keputusan yang sama dengan Tini.
Kejadian tersebut ternyata berbuntut lain. Asikin memecat Abdurrahman
dari pekerjaannya. Keputusan ini tidak terlepas dari perintah Tini, ibunya.
Kehidupan Abdurrahman jadi bertambah menyedihkan. la hidup menumpang pada Fulia, adiknya. Dalam ketermenungan memikirkan hari esok, Susana datang menemuinya. Abdurrahman sangat bahagia bertemu dengan anaknya yang telah berubah sama sekali itu. Dengan kedatangan Susana, ia dapat sedikit melupakan kemalangannya. Abdurrahman bahkan berterima kasih kepada anaknya yang memberinya uang dan mau membiayai pengobatan Aminah yang tak kunjung sembuh.
Adanya sedikit uang pemberian Susana mendorong Abdurrahman untuk mengurus masalah warisan yang masih terkatung-Katung. Sepulang dari mengurus warisan di Tasikmalaya, bus yang ditumpangi Abdurrahman menabrak pohon. Hampir semua penumpang meninggal. Untung Abdurrahman selamat, meskipun menderita cedera berat.
Saat Abdurrahman tergeletak di rumari sakit, datang berita yang menggembirakan bahwa ia mendapat panggilan kerja di Cibinong. Setelah sembuh, dengan optimisme yang besar—walaupun kedatangannya telah melewati batas waktu yang ditentukan— Abdurrahman datang ke Cibinong. Ia sungguh kecewa begitu mengetahui jabatannya telah diduduki orang lain. Ia bertambah sedih sewaktu mendengar penjelasan dari bagian personalia bahwa ia tidak dipilih karena ada yang mengabarkan bahwa ia meninggal dalam kecelakaan yang menimpanya. Orang yang mengabarkan berita bohong itu adalah orang yang kini
WANITA ITU ADALAH IBU
Pengarang : Sori Siregar (12 November 1939)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun
: 1982

Meninggalnya Laura membuat Hezan merasa begitu sangat kehilangan
seseorang yang dicintainya. Cinta Hezan yang mendalam terhadap istrinya itu menyebabkan ia bertekad untuk tidak mempunyai istri lagi. Dengan hidup tetap menduda, ia merasa tidak mengkhianati cintanya kepada almarhumah. Begitu pula ia merasa sanggup membesarkan putri tunggalnya, Prapti, tanpa perlu mengakhiri status dudanya. Yang penting baginya, ia dapat menumpahkan kasih sayangnya kepada putrinya seorang.
Sungguhpun demikian, Hezan juga tidak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa sesungguhnya ia begitu kesepian. Bertahun-tahun sejak istrinya meninggal, ia merasakan kesepian itu. Namun, ia juga tidak ingin Prapti mengetahui apa yang selama ini ia pendam dengan penuh kegelisahan.
Kesepian yang dirasakan Hezan makin terasa mengganggunya setelah Prapti menikah dengan Tonton. Mitos untuk mempertahankan diri sebagai suami yang setia, justru makin menggelisahkannya, apabila ia ingat kemunafikannya selama ini. Di depan anaknya,Hezan berperan sebagai ayah yang taat beragama dan setia mencintai almarhumah. Namun, di balik itu, Hezan mencari kepuasan lewat perempuan-perempuan lain. Jadilah duda itu hidup seolah-olah dalam dua dunia; sebagai ayah yang ideal di mata putrinya, dan sebagai lelaki yang butuh kehangatan tubuh perempuan, di hadapan hati nuraninya sendiri.
Sebelum itu, Prapti sendiri pernah mengusulkan agar ayahnya menikah lagi. Namun ternyata, Hezan sendiri menanggapinya secara lain; dengan kawin lagi, ia khawatir hal itu justru merupakan pengkhianatan terhadap cintanya kepada istrinya, almarhumah. "Aku sebenarnya tidak tahu, gagasan yang dikemukakan Prapti kepadaku... Yang jelas aku terkejut dengan saran yang diajukan Prapti. Betapa tidak. Setelah lima belas tahun mendampinginya dan membesarkannya setelah kepergianmu, Prapti menyarankan kepadaku agar aku mencari penggantimu" (hlm.21). Begitulah, Hezan seolah-olah hendak mengadukan persoalannya kepada Laura, almarhumah.
Apa yang dirasakan Hezan, dirasakan pula oleh Prapti berkenaan dengan usul agar ayahnya mencari pengganti ibunya. "Aku malah telah berbuat lebih jauh. Meminta ayah untuk mencari pengganti Ibu. Sampai di mana sebenarnya cintaku pada Ibu? Mungkin cintaku terlalu besar kepada ayah, yang membuatku melupakan Ibu" (hlm. 34).
Bagi Hezan, dalam perkembangannya kemudian, persoalannya bukan lagi pada kekhawatirannya mengkhianati cinta kepada istrinya, melainkan kemunafikannya sendiri. Pada mulanya Hezan beranggapan bahwa tak ada artinya perkawinannya nanti jika hanya karena hendak menghindari dosa. Karena
bagaimanapun juga, perkawinannya itu mesti dilandasi oleh perasaan cinta. Padahal cintanya sudah tumpah pada Laura. "Yang jelas aku tidak akan bisa menganggap istri baru seperti Laura. Cintaku kepada Laura tidak akan dapat kualihkan kepadanya. Lalu, apa artinya perkawinan tanpa cinta?" (him. 49). Itulah yang membuat Hezan lebih suka melakukan hubungan gelap—tanpa nikah— daripada harus kawin, yang berarti mengalihkan cintanya dari Laura kepada wanita yang dinikahinya.
Belakangan, munculnya Nuning, sosok wanita yang sedikit banyak mengingatkannya kepada Laura, mulai mencairkan sikap Hezan dalam hal keengganannya untuk menikah lagi. la mulai merasakan sesuatu yang lain, dan ia merasa cintanya tumbuh kembali. "Cinta kita adalah cinta tua.... Aku akan melupakan semua perasaan yang terpendam ini. Kalau kau memang telah ditakdirkan untuk menjadi milikku, kau tidak akan pernah bisa dirampas oleh siapa saja" (hlm. 121). Nuning pula yang kemudian ia tetapkan sebagai calon istrinya yang baru. Sementara Prapti sendiri telah menemukan sosok ibunya pada diri Nuning Maka, tidak ada alasan baginya untuk menolak Nuning sebagai ibu tirinya. Apalagi, perempuan yang sudah mulai berumur itu pur. merasakan hal yang sama: "Datanglah, datanglah sekali lagi. Aku akan membukakan pintu ini lebar-lebar untukmu" (hlm, 123).






PERTEMUAN JODOH
Pengarang : Abdul Muis
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun
: 1932; Cetakan V, 1964

Ratna, seorang murid Frobelkweeschool, secara tak sengaja berkenalan
dengan pemuda Suparta dalam kereta yang membawanya dari Jakarta ke Bandung. Suparta berusaha mencarikan tempat duduk buat gadis itu, yang semula dipenuhi barang-barang milik sepasang suami-istri Tionghoa. Di Stasiun Cimahi, suami-istri Tionghoa itu ditahan polisi karena ditemukan membawa candu.
Perkenalan tersebut rupanya berkesan cukup dalam bagi sepasang anak
muda itu. Suparta pun berkesempatan untuk mengantarkan gadis itu sampai ke
halaman sekolahnya. Selanjutnya, mereka sepakat untuk meneruskan hubungan
lewat surat.
Beberapa bulan kemudian, Suparta yang murid Stovia itu, melalui sepucuk surat, mengutarakan niatnya untuk memperistri Ratna. Meskipun tidak secara tegas, Ratna menyambut baik niat Suparta. la bersedia juga menghabiskan masa liburannya di Surnedang untuk sekaligus berkenalan secara baik-baik dengan keJuarga pemuda itu. "Ibu Suparta termasuk golongan 'menak baheula', yaitu orang tua turunan bangsawan yang masih berpegang teguh alam keadaan dan adat lembaga zaman dahulu" (hlm. 29).
Sambutan ibu Suparta ternyata tidak begitu ramah. Ratna kecewa pada sikap Nyai Raden Tedja Ningrum yang memandangnya dengan cemooh setelah tahu bahwa Ratna turunan orang kebanyakan saja. Ibu Suparta juga bahkan sengaja menyinggung-nyinggung nama gadis lain yang dianggapnya lebih pantas untuk anaknya, yang tak lain adalah teman sekelas Ratna di Frobelkweeschool.
Ratna kemudian bertekad untuk melupakan Suparta. Berita pertunangan Suparta dengan Nyai Raden Siti Halimah alias "Dewi Dekok" tidak membuatnya putus asa. Namun, kemalangan lain terpaksa pula harus ia terima. Usaha pembakaran kapur ayahnya, Tuan Atmadja, bangkrut. Akibatnya, Ratna terpaksa memutuskan keluar dari sekolahnya.
Cobaan-cobaan itu tidak membuat Ratna patah semangat. la pun kemudian berusaha mencari pekerjaan. Gaji yang ia terirna sebagai pelayan toko, digunakannya untuk membiayai sekolah adiknya, Sudarma. Namun, baru empat bulan ia bekerja, toko itu harus ditutup atas perintah pengadilan. Ratna kembali melamar pekerjaan di kantor advokat. Namun, ia terpaksa mengurungkan niatnya karena si advokat itu berusaha menggodanya. Dalam kebingungan, ia lewat di depan sebuah rumah besar. Pikirannya kemudian muncul, untuk menjadi pembantu rumah tangga. la pun menjadi pembantu Tuan dan Nyonya Kornel.
Sementara itu, Suparta yang sudah menjadi dokter berusaha mcnjumpai Ratna kembali. la kehilangan jejak kekasihnya itu. la juga menyesalkan ketidaksetujuan ibunya terhadap keinginannya untuk memperistri Ratna. Namun,
ketika sikap keras hati ibunya itu melunak, Suparta justru kehilangan jejak Ratna. Berkat pertolongan direktris Frobelkweeschool, dokter muda itu memperoieh alamat orang tua Ratna di Tagogapu. Ternyata, di rumah orang tua Ratna, Suparta juga tak menjumpai gadis itu. Orang tua Ratna yang melihat kesungguhan Suparta merasa tersentuh hatinya sehingga mereka rriemberitahukan alamat Ratna di Kebon Sirih. Alangkah terkejutnya Suparta ketika mendengar bahwa Ratna sudah berangkat ke Jakarta bersama adiknya pagi itu, sedangkan pemilik rumah tempat Ratna menumpang tidak mengetahui tujuan kakak beradik itu ke Jakarta.
Dalam pada itu, selama Ratna menjadi pembantu keluarga Kornel, berbagai cobaan harus diterimanya dengan tabah. Kehadirannya dalam keluarga itu tidak luput dari rasa iri Jene, pembantu yang juga bekerja pada keluarga Kornel. Hingga pada suatu ketika, Ratna dituduh mencuri perhiasan Nyonya Kornel atas fitnah Jene. Ratna kemudian dibawa ke kantor polisi. Ketika para polisi yang menjaganya lengah, Ratna melarikan diri, kemudian terjun ke sungai di sekitar jembatan Kwitang. Beruntung, nyawanya masih dapat diselamatkan. Dalam keadaan sekarat, ia dibawa ke rumah sakit.
Sangat kebetulan bahwa dokter yang merawat Ratna adalah Suparta. Pertemuan itu tentu saja membesarkan hati kedua belah pihak. Keyakinan Suparta bahwa Ratna tidak bersalah, ikut mempercepat kesembuhan wanita muda itu. Untuk rnemulihkan nama baik Ratna, dokter muda itu menyiapkan seorang pengacara terkenal untuk mendam-pingi gadis pujaannya di pengadilan. Sebab, bagaimanapun, Ratna masih harus ber-urusan dengan penegak hukum.
Di pengadilan terbukti bahwa Ratna tidak bersalah. Pencuri perhiasan Nyonya Kornel ternyata adalah A mat, kekasih Jene. Pembantu keluarga Kornel yang bernama Jene itu diduga diperalat oleh kekasihnya. Pengadilan juga memutuskan bahwa Amat bersalah dan diganjar lima tahun penjara. Sementara itu, Jene tidak dikenakan hukum-an walaupun sebenarnya harus dituntut.
Sidang pengadilan juga telah mempertemukan Ratna dengan Sudarma, adiknya, schattcr pegadaian Purwakarto yang bertindak sebagai saksi pertama. Lalu, atas ke-sepakatan Suparta dan Sudarma, Ratna disuruh beristirahat di sebuah paviliun "Bidara Cina". Gadis itu tidak dii/inkan bertemu dengan sembarang orang, kecuali Suparta yang setiap sore datang memeriksa kesehatannya. Lambat- laun kesehatan Ratna mulai puiih. la juga mulai dapat mengingat-ingat segala sesuatunya, termasuk hubungannya dengan Suparta.
Begitu Ratna meninggalkan tempat peristirahatannya, Suparta melamarnya. "Dokter Suparta sendiri yang berkehendak, supaya nikah dilangsungkan hari ini, ..." (hlm. 155). Tuan Atmadja sekeluarga berkumpul di rumah Sudarma menyelenggarakan pesta perkawinan Ratna dengan Dokter Suparta.
Kebahagiaan pengantin baru itu bertambah lagi ketika mereka pulang ke Tagogapu. Rumah ayah Ratna kini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Keadaan Tuan Atmadja sekarang sudah lebih baik lagi berkat bantuan kedua anaknya. Kini, pengantin baru itu menempati sebuah rurnah besar, bersebelahan dengan rurnah orang tua Ratna. Rumah itu sengaja dibangun Suparta sebagai hadiah perkawinan bagi istrinya.

No comments:

Post a Comment