SELAMAT DATANG

WELCOM TO MY BLOG

Fiksi

Selalu Ada Harapan




"Hari ini, tepatnya dua minggu yang lalu, apakah kau ingat apa yang terjadi ?"
"Apa? Perasaan tidak ada apa-apa"
"Padahal waktu itu semuanya tampak jelas. Lebih tepatnya hal itu terjadi di samping toko buku itu."
"Pohon! yang kamu maksudkan yang terjadi di dekat pohon itu kan?"
"Ya. saat itu kita melewatinya ketika hendak pulang dari toko buku tersebut."
"Benar juga tebakanku hahaha."
"Itu bukan tebakan. Lagipula kita ada di sana. Wajar saja jika kau tau. Saat itu ada pengamen. Tepat saat dia selesai menyanyikan bagian...."
"Reffrain. Dia berhenti bernyanyi tepat saat kita berdiri di depannya kan?"
"Tidak hanya itu. Dia juga mengatakan sesuatu kepada kita bukan?"

"Hmm.. memangnya apa yang dia katakan? Aku lupa haha."
"Dia mengatakan jika lagu yang barusan ia nyanyikan cocok untukku."
"Aku tau! Lagu balonku ada lima itu kan?"
"Ya. Saat itu kau malah tertawa."
"Ahahaha.. habisnya lucu sih."
"Mungkin sekilas lagu itu biasa saja. Tapi sepertinya aku sependapat dengan pengamen tersebut. Ada hal lain yang kurasa kau juga belum tau mengenai lagu tersebut."
"Emangnya apaan? Bukannya lagu itu hanya menceritakan seorang anak yang kehilangan satu balonnya?"
"Lagu itu sebenarnya mengajarkan kita bahwa saat kehilangan sesuatu yang sangat berharga, bukan berarti kita kehilangan segalanya. Saat kita kehilangan seseorang tercinta, teman baik, kisah yang tak seharusnya lenyap, kita tak semestinya berduka terlalu lama."
"Ibaratnya balon hijau yang meletus itu kan?"
"Akhirnya kau tau juga."
"Itu karena mudah dinalar haha"
"Ramalan pengamen itu tapi ada benarnya juga"
"Maksudmu saat dia mengatakan jika lagu itu cocok untukmu? Mungkin saja si pengamen tersebut punya indra keenam haha."
"Ahaha.. tak apalah. Meskipun pengamen tersebut tau hatiku sedang kacau, setidaknya aku masih punya sesuatu yang masih bisa kupegang erat-erat. Seperti cita-cita, harapan, dan kamu misalnya"

 

 

Agar Senyum dan Tawa Kembali Merdeka 

By : Alvin Niza

pic taken from here

"Ku tanya sekali lagi, bagaimana kau tau tentang obat itu?" Lelaki berjas itu terus saja menanyaiku. "Kau mendengarkanku kan?"

"Tentu" jawabku singkat.

"Kalau begitu jawablah!" teriaknya sambil mengebrakkan tangannya di meja.

"Mungkin jika kau memberiku secangkir kopi, aku bisa menjawab pertanyaanmu"


Lelaki itu berbalik dan mendongakkan kepalanya, mengisyaratkan anak buahnya untuk memenuhi permintaanku

"Tolong jangan pakai gula" ujarku kepada anak buah lelaki itu

Beberapa menit kemudian, anak buah lelaki itu membawakan kopi yang tadi aku minta. Meletakkannya di atas meja dan melepaskan borgolku agar aku dapat meminumnya.

"Oke, aku sudah memberimu secangkir kopi, sekarang jawab pertanyaanku, bagaimana kau tau tentang obat itu?"

"Hai hai tenanglah sedikit", jawabku, "Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, bukan lebih baik kau tau alasanku mengapa aku mencuri obat itu?"

Lelaki itu terdiam beberapa menit. Menautkan kedua tangannya lalu menganggukkan kepalanya.

"Oke, baiklah. Tapi setelah itu kau harus menjawab pertanyaanku tadi" "Oke. Sebenarnya aku tidak mau mencuri obat itu, obat pembuat bahagia yang dapat membuat siapapun yang meminumnya akan kembali tersenyum ceria. Tapi.."

"Tapi apa? lanjutkan jawabanmu"


"Aku mempunyai teman. Bukan teman sebenarnya, terlalu special kalau disebut teman. Dia perempuan yang manis. Selalu ceria walau agak sedikit pemalu. Jika kau melihat senyumnya, kau akan mengerti apa yang aku katakan"

"Aku tidak perlu melihat senyum temanmu itu, lanjutkan ceritamu"


"Tapi entah mengapa senyum yang selalu kulihat, tawa yang selalu aku dengar, akhir-akhir ini mulai redup. Dia menjadi pendiam. Suka menyendiri. Dan terkadang sering menangis tanpa sebab. Aku sudah bertanya berkali-kali mengapa dia menjadi seperti ini. Tapi tetap saja hanya diam yang dia lontarkan. Bahkan semua usahaku untuk membuatnya kembali riang tak berhasil sedikitpun. Dan akupun harus menerima kenyataan bahwa senyum yang manis itu kini telah tiada."

"Dan kau mencuri obat itu agar temanmu itu dapat kembali bahagia?"

"Ya, kurang lebih seperti itu"

"Cerita yang bagus, seperti kau bakat jadi penulis. Aku sampai terharu mendengar ceritamu"

"Terserah kau mau menyebutku apa tapi yang jelas itulah kenyataannya"

"Baiklah itu cukup membuaatku terhibur, sekarang jawab pertanyaanku tadi"

Aku mengambilkan kopi yang ada di atas meja dan meneguknya untuk menghabiskannya.

"Sebenarnya aku kebetulan saja tau, ketika aku mendengarkan percakapan dari beberapa orang-orang kalian dan memutuskan untuk mengikuti mereka"

"Dengan kata lain, tidak ada yang tau selain dirimu?" lelaki itu setengah tersenyum.

"Bisa dibilang seperti itu"

"Karena kau sudah tau banyak, kau tau kan aku tidak bisa membiarkanmu hidup"

Lelaki itu mengeluarkan pistol dari sakunya.

"Tentu, aku sudah menduganya"

"Oh iya, terima kasih atas cerita dongengnya, itu sangat membuatku terhibur, kau punya kata-kata terakhir?"

Lelaki itu menarik pelatuknya dan menodongkan pistol ke arahku.


"Tersenyumlah Beby. Aku mencintaimu." 




Apapun Itu

By : Alvin Niza




“Sendirian nak?”

“Iya pak,” ucapku pelan.

Laki-laki itu mulai menyulut rokoknya. Dia duduk tepat di sebelah kananku.

“Lagi nunggu siapa pak?” ujarku membuka pembicaraan.

“Menunggu..,” ucapnya tanpa melihat kearahku “Seorang bidadari”

“Siapa? Istri bapak?”


Lelaki itu hanya membalas dengan senyuman. Dia mulai menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Apakah kau tau nak?“ ucapnya. “Apa yang lebih menyakitkan dari cinta tak terbalas?”

“Selingkuh,” jawabku yakin.

“Mengapa?” kali ini dia memalingkan muka kearahku.


“Bukannya sudah jelas pak? Hati mana yang mau diduakan? Tiap orang punya hati untuk kekasihnya sendiri. Suatu ketololan ketika hati yang telah diberikan itu dibagi untuk orang lain. Orang mana yang tidak sakit?”

Lelaki itu setengah tertawa mendapati jawabanku. “Itu salah nak..,” ucapnya sambil membuang puntung rokok yang baru saja ia habiskan. “Salah besar.....,” Kali ini dia berdiri dan melihat jam tangan silver yang ia kenakan. “Yang lebih menyakitkan dari cinta tak terbalas adalah...,” Dia menghela nafas. “Ketika kau bersama seseorang yang kau cintai.. tetapi orang tersebut telah menjadi milik orang lain.”


“Nunggunya gak lama kan pak?”, tanya seorang perempuan yang baru saja lari itu.

"Tidak kok bu,” lelaki tadi berbicara dengan penuh nada sopan.

“Mobilnya saya parkir disana bu.. setelah ini mau kemana ya bu?”

“Pulang saja pak, suamiku sepertinya sudah mau sampai rumah. Aku sudah tidak sabar untuk meramu sayur-sayur ini. Sudah lama dia tidak menikmati masakanku. Seperti dia akan senang jika ku buatkan sop kesukaannya ”

“Siap, apapun buatmu bu”, ucap lelaki itu sambil tersenyum. “Apapun...”


Senyum Termanis Setelahnya


By . Alvin Niza
"Kamu sekarang jadi tinggi ya. Padahal dulu waktu SMP kamu tak sampai sebahuku." Ujarnya sambil tersenyum. Sekolah yang tadinya ramai kini tampak sepi. Hanya ada beberapa teman seangkatan kami yang terlihat sedang bercengkrama sambil bernostalgia. "Ku dengar, " lanjutnya kemudian. "Perempuan - perempuan di SMA mu cantik - cantik. Adakah dari mereka yang berhasil memikat hatimu?"

"Kurasa belum ada"

"Mengapa? dia bertanya.

"Sederhana saja. Belum ada yang bisa menggantikan posisimu di hatiku."

"Apa aku seistimewa itu?  Memang apa bedanya aku dengan mereka?

"Apa bedanya? Hmm.. kurasa tidak ada bedanya. Hanya saja kaulah satu - satunya perempuan di dunia yang berhasil memikatku dengan senyummu.

Dia tersenyum.

"Senyuman termanis ya? Sudah lama aku tidak mendengar kata itu."

Berikutnya, kami sama - sama terdiam. Ada jeda sekian menit yang mulai membuat canggung. Aku mengambil permen dari saku jaket, membukanya, memakannya, lalu menggeser posisi dudukku agak menjauh darinya.

"Besok senin sudah UN ya" ujarnya memecah keheningan. "Apakah orang pandai seperti juga akan khawatir jika tidak lulus?"



"Tidak. Satu - satunya hal yang membuatku khawatir adalah tidak bisa memiliki senyumanmu. Lagi.



"Hahaha"


Kembali ada jeda yang membuat canggung. Namun kali ini tak terlalu lama. Sampai akhirnya ada lelaki yang memangil dan meneriakkan namanya.


"Oh iya, tunggu sebentar. Aku akan segera ke sana." dia balas berteriak. "Aku pulang dulu ya, sudah di tunggu tuh."



"Siapa dia? Pacarmu?" ujarku.

"Iya, kau cemburu?"

"Mungkin"

Dia berjalan meninggalkanku. Pada langkah keenam dia berbalik.

"By the way, apa yang akan kau lakukan untuk membunuh perasaanmu kepadaku?" dia bertanya.

"Entahlah, mungkin aku akan mencari perempuan pemilik senyum termanis setelahmu."

No comments:

Post a Comment